Jumat, 26 Februari 2010

Kuliner Piok


by Hadi


- Hadi -

Asal Usul Lontong Cap Go Meh


Masing-masing kota di Indonesia memiliki ciri khas masing-masing dalam merayakan Cap Go Meh ini. Di Jawa terutama, dikenal dengan menyajikan hidangan khas lontong cap go meh. Sementara di Kalimantan, mungkin Night dan Meazza sendiri bisa menceritakan lebih detail. Di Medan juga lain lagi, sembahyang di kelenteng mendominasi kegiatan di malam Cap Go Meh ini.

Kemudian disambung dengan atraksi barongsai, dan lontong cap go meh sendiri sudah mulai menyebar di beberapa bagian di Nusantara ini. Bahkan makanan ini sudah jadi paten namanya di mana-mana, menu di resto, warung, bahkan foodcourt di mall-mall akan seragam semua namanya: “lontong cap go meh”, padahal dimakan setiap saat, bukan pas cap go meh. Sepengetahuan saya, di Kalimantan perayaan Cap Go Meh tidak dengan menyajikan makanan ini.

Jejak langkah imigran pertama dari China diperkirakan hampir sama tuanya di Nusantara ini, tapi jejak langkah aktifitas dan peninggalan orang Tionghoa di Indonesia, diperkirakan di kisaran tahun 1400’an. Laksamana Cheng Ho yang membawa pasukan perdamaian menurut catatan sejarah singgah ke berbagai kota di Indonesia ada sebanyak 7 kali. Referensi mulai dari yang ilmiah oleh Gevin Menziez: 1421 The Year China Discovered The World, sampai yang fiksi sejarah Remy Sylado: Sam Po Kong, menunjukkan bahwa asimilasi pendatang dan penduduk asli sudah berjalan dengan mulus tanpa adanya paksaan, tanpa adanya “program pembauran”, tanpa adanya politik dsb.

Pembauran ini alamiah, wajar dan manusiawi. Umumnya para perantau ketika itu, mulai dari panglima pemimpin rombongan pasukan perdamaian, sampai dengan jongos kapalnya 99,9% jelas laki-laki. Seperti banyak diketahui bahwa Laksamana Cheng Ho sendiri (yang kemudian dikenal sebagai Sam Po Kong) adalah seorang kasim alias sida-sida (orang kebiri) kerajaan Ming, orang kepercayaan Kaisar Yong Le. Dengan mayoritas laki-laki, pada masa itu (juga sekarang rasanya), jamak jika singgah atau berlabuh di satu negeri asing nun jauh di antah berantah, mereka berusaha menyalurkan insting alaminya, baik dengan cara “quick & short” ataupun “long term relationship”. Sebagian dari para awak kapal muhibah ini ada yang tinggal karena membangun rumah tangga dengan penduduk setempat, ada yang terpaksa tinggal karena sakit (seperti jurumudi Laksamana Cheng Ho, yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Juru Mudi yang juga dihormati di Kelenteng Sam Po Kong Semarang sampai sekarang), ada yang karena pesakitan alias residivis yang memilih melarikan diri, membaur dengan penduduk setempat daripada dibawa pulang ke China untuk menjemput kematian karena hukuman mati Kaisar.

Dengan berbagai latar belakang ini, dipercaya berbagai sumber sejarah, bahwa perkembangan pendatang dari China ini awalnya dimulai di pesisir pantai utara Jawa. Pasukan dan awak kapal yang dibawa oleh Laksamana Cheng Ho juga terdiri dari berbagai jenis manusia, agama, budaya dan pendidikan. Agama yang mayoritas di rombongan besar Laksamana Cheng Ho ketika itu adalah agama Buddha sementara pemimpin tertinggi alias panglimanya si Laksamana Cheng Ho adalah pemeluk Islam yang taat, dan menurut sumber-sumber sejarah, beliau ini sudah menuntaskan kewajiban haji. Karena berbagai jenis latar belakang inilah, maka pembauran dengan penduduk setempat yang ketika itu masih kental sekali animisme, dinamisme, dan Kejawen’nya berjalan dengan lancar. Penyebaran pertama Islam di pulau Jawa dipercaya sudah dimulai di masa itu, jauh sebelum Wali Sanga, demikian juga berdampingan dengan Islam, agama Buddha juga berkembang dengan subur di bumi Nusantara.

Perayaan Imlek sendiri mulai dikenal penduduk setempat, yang jelas merasa sebagai sesuatu yang benar-benar baru, aneh, dan menyenangkan. Adaptasi berjalan dengan cepat. Selayaknya pendatang, mereka juga memperkenalkan segala jenis budaya, pengajaran, makanan, dan pengetahuan lain seiring dengan pembelajaran mereka sendiri dengan kebiasaan setempat. Termasuk rangkaian dalam setahun menurut penanggalan Imlek diperkenalkan dan disesuaikan dengan kebiasaan penduduk setempat. Mulai dari hari pertama Sincia atau Imlek, yang aslinya dari China adalah perayaan menyambut musim semi (??), tapi karena di negeri tropis yang tidak akan pernah mengalami “winter”, nama chun jie (baca: juen cie, menyambut musim semi) tidak pernah dikenal dalam menyebut perayaan Tahun Baru Imlek. Yang dikenal adalah “Imlek” atau “Sincia”. Demikian juga dengan penutup rangkaian perayaan tahun baru Imlek ini yang di tempat asalnya disebut dengan Yuan Xiao Jie (???, baca: yuen siau cie) tidak pernah dikenal di Indonesia, karena pemaknaan yang sedikit berbeda, apalagi tidak akan pernah dikenal dengan nama Shang Yuan Jie (???, baca: shang yuen cie). Untuk menyederhanakan sebutan, di kemudian hari kemudian disebut dengan Cap Go Meh, yang diambil dari dialek Hokkian, yang artinya “malam ke 15” alias malam bulan purnama menurut penanggalan Imlek. Sederhana, gampang diingat dan mudah dipahami oleh semua orang, dibanding dengan sarat dan dalamnya makna serta cerita di belakang nama “resmi” Yuan Xiao Jie.

Perayaan aslinya sendiri yang menggunakan makanan simbolis (??) atau ronde, yang menyimbolkan kerageman (kesatuan) keluarga, karena terbuat dari tepung ketan. Menurut perkiraan saya, pada masa itu, mungkin saja beras ketan sudah dikenal di masyarakat luas (note: sampai dengan tulisan ini ditulis belum pernah diadakan penelitian pola makan, makanan, ataupun budaya makan di masa abad 14-16 di Nusantara ini, khususnya di Jawa). Walaupun demikian, makanan yang terbuat dari beras ketan ditumbuk kemudian dibulatkan sehingga kenyal rasanya akan terlihat aneh bagi penduduk lokal.

Untuk mengakrabkan dan memperlancar proses asimilasi, para pendatang ini berkreasi dengan makanan pokok yang sudah ada sejak dulu kala yaitu beras nasi. Untuk menggenapkan dan memenuhi persyaratan menyambut bulan purnama dibuatlah lontong yang berbentuk bulat juga. Teknik membuat lontong ini dipercaya diadaptasi dari teknik pembuatan bakcang/kicang yang sudah ada ribuan tahun. Untuk pelengkap hidangan tadi sekaligus untuk menghormati Laksamana Cheng Ho yang seorang Muslim, dikreasikan lagi pendamping lontong tadi dengan “sup” ayam modifikasi dan silang budaya antara pendatang dan penduduk asli, menggunakan rempah-rempah yang memang sudah ada dan digunakan sejak lama di bumi Nusantara ini, ditambahkan santan, dsb, bisa jadi inilah asal mula masakan opor.

Sampai saat ini, tidak ada satupun peneliti kuliner dan referensi yang bisa menjelaskan “opor ayam” itu berasal dari mana, sejak kapan ada di Indonesia, siapa penemunya, siapa peramu awalnya, mulai kapan menyebar hampir di seluruh wilayah Nusantara, tidak seorangpun yang tahu, hanya disebutkan “resep warisan leluhur”. Praduga inipun hanya berdasarkan imajinasi saya sendiri, didasari beberapa referensi baik ilmiah maupun fiksi ilmiah, sehingga tulisan ini lebih merupakan fiksi ilmiah daripada suatu hasil penelitian ilmiah yang sahih dan akurat.

Full set dari lontong cap go meh yang terdiri dari lontong, ayam opor, ayam abing (akan dijelaskan lebih lanjut), sambel goreng ati ampela, lodeh terong/labu, telor pindang, bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak terlihat dalam foto, akan dijelaskan terpisah juga).

Seperti diuraikan di atas, secara simbolis, lontong menggantikan sajian “resmi” di negeri asalnya yaitu yuanxiao alias ronde.

Melambangkan bulan purnama yang bulat bundar, melambangkan kebulatan dan kebersihan hati dari warna putih yang dihasilkan dari bahannya.

Dari warnanya jelas terlihat kuning. Sebenarnya opor di Jawa terdiri dari 2 macam, opor putih dan opor kuning. Opor putih di sini lebih banyak diminati oleh kalangan emak-emak (sebutan), yaitu para wanita Tionghoa yang sudah membaur dengan kebiasaan setempat mengenakan baju kurung (bukan kebaya) dan sarung selayaknya penduduk setempat.

Penampilan unik ini hanya ada di Jawa. Inilah yang disebut emak-emak atau golongan Tionghoa babah. Sebutan Tionghoa babah adalah golongan yang sudah berasimilasi dan berbaur dengan penduduk lokal, sementara Tionghoa totok adalah golongan yang baru datang dari China dan belum berbaur.

Sementara opor kuning, biasa dimasak oleh penduduk asli dengan menambahkan kunyit, dengan alasan “luwih ayu” (lebih cantik), tidak pucat dan lebih menyehatkan badan karena kunyit sebagai penyeimbang santan. Seperti diketahui bahwa fungsi kunyit sangat baik untuk kesehatan tubuh.

Makna warna kuning diasosiasikan dengan emas, yang berkonotasi kemakmuran dan kemakmuran. Saya pribadi lebih suka opor kuning, yang memang terlihat lebih cantik dan rasanya lebih “sedep”.

Warna merah mencorong sambel goreng ati ampela dengan jelas menyiratkan warna wajib perayaan Imlek dan segala sesuatu yang dipercaya oleh orang Tionghoa.

Jelas sekali bahwa makanan ini adalah lintas budaya asimilasi yang melebur total karena jelas di China tidak ada masakan seperti ini, dan mayoritas masyarakatnya tidak meyukai pedas, apalagi masakan dengan banyak rempah dengan rasa dan aroma yang tajam seperti sambel goreng.

(Terkecuali beberapa wilayah di China yang memang akrab dengan pedas, seperti Sichuan, dan itupun tidak menggunakan santan dan rempah seperti masakan khas ini. )

Jelas juga bahwa telor di manapun juga melambangkan rejeki, murah rejeki, kemakmuran, harapan baik, segala sesuatu yang baik.

Pemasakan telor pindang ini juga khas Indonesia, lebih spesifik lagi di Jawa, dengan daun jati atau rempah lain yang menghasilkan telor pindang nikmat yang gempi (apa ya bahasa Indonesia’nya?).

Memang telor “pindang” juga ada di China, tapi namanya telor teh alias cha ye dan (???, baca: ja ye tan), yang memiliki penampakan yang mirip, telor kecoklatan nikmat. Walaupun aroma dan rasa yang berbeda sama sekali.

Ini pelengkap dari hidangan ini semua, warna putih, dengan labu atau terong sebagai sayurnya, melambangkan harapan baik juga, labu atau terong, suatu harapan dan cita-cita yang baik, warna putih yang menyiratkan lembaran baru di tahun yang baru.

Perbedaan terong dan labu hanya perbedaan daerah saja. Di Semarang, lebih suka labu atau jipang, sementara di Jakarta lebih suka terong.

Ini sangat spesifik dan khas hanya ada di Semarang, ada juga yang menyebutnya “sate abing”. Abing sendiri dari bahasa Jawa yang menggambarkan warna merah yang sangat merah, warna merah dalam bahasa Jawa disebut “abang”, dan sangat merah disebut “abing”. Masakan ini kalau boleh saya sebut nama lainnya bisa juga disebut “opor merah” (ini istilah saya saja lho).

Pembuatan yang lebih rumit dari opor biasa, karena harus menggunakan kelapa parut yang disangrai sampai kering dan kecoklatan yang kemudian digiling sehingga menghasilkan cairan kental warna merah tua kecoklatan. Cairan kental merah kecoklatan ini sebagai pengganti santan dalam memasak “opor merah” ini, sementara semua bumbunya sama persis seperti bumbu opor (minus kunyit, supaya warna merah tua terjaga).

Rasanya bagaimana?

Hanya orang Semarang yang mungkin bisa menggambarkannya. Walaupun saya juga cukup yakin bahwa mungkin banyak di antara KoKiers yang sudah pernah merasakannya. Sepengetahuan saya, ayam abing ini tidak didapati di daerah lain.

Sesuai namanya yang “sangat merah” menyimbolkan makna yang sama dengan sambel goreng ati tadi di atas, warna khas perayaan Imlek, dan masakan ini merupakan kemewahan tersendiri di saat menyambut Tahun Baru Imlek. Terlebih lagi tidak banyak orang yang bisa membuat ayam abing dengan benar dan menghasilkan masakan yang sedap. Sementara nama lain “sate abing” adalah warna kecoklatan yang diasosiasikan dengan bumbu sate.

Kelapa Sangrai


Bawang merah goreng dan bubuk dokcang (tidak ada fotonya), sebagai pelengkap dan penyedap dari hidangan khas ini. Bubuk dokcang terbuat dari kedelai yang disangrai dicampur dengan sedikit kaldu (Maggi atau merek lain) dan kemudian digiling halus sampai jadi bubuk kecoklatan.

Semoga uraian singkat ini dapat bermanfaat dan menjadi titik awal penelitian dan penelusuran selanjutnya mengenai asal-usul lontong cap go meh yang nikmat ini. Saking nikmatnya dan sudah menjadi salah satu kuliner khas Nusantara, sampai-sampai namanya pun melekat erat dan menjadi trade mark yang dapat disantap kapanpun, di manapun juga.

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

SEJARAH MAKANAN TJAH KWEI


Tjah Kwei adalah makanan asal Tiongkok yang dibuat dari tepung trigu, ragi, soda, ammonium bicarbonat dan garam. Adonan kalau sudah “mekar” dibuat seperti tongkat yang panjangnya kira kira 15-20 cm., lalu dua tongkat dilekatkan menjadi satu. Kalau digoreng panjangnya menjadi kira kira 25 cm dan berwarna coklat. Tjah kwei terkenal di Asia tenggara dan merupakan makanan kecil terutama bagi orang-orang Tionghoa. Di Solo, Jawa Tengah, Tjah Kwei dibuat oleh orang “pribumi” dan setiap malam pembeli selalu berderet-deret untuk antri. Untuk makanan pagi di daratan Tiongkok dan Taiwan Tjah-kwei dimakan bersama-sama dengan susu kedele adalah sarapan pagi yang nikmat. Tjah Kwei di Solo dimakan baik oleh suku Tionghoa maupun oleh orang jawa Solo.

Disini aku ceritakan asal usul Tjah Kwei. Di jaman Dinasti Song, suku Jin dari Utara sangat kuat, mereka beberapa kali menyerbu negeri Song. Kemudian Kerajaan Song dikalahkan dan kaisar Wei dan Xin ditangkap. Kemudian raja Gang (baca: Kang) mendirikan dinasti Song Selatan. Di masa kaisar Gao dari Song Selatan, sekali lagi diserbu secara besar-besaran oleh suku Jin dan menduduki sebagian besar daerah utara dari sungai Chang Jiang (Yang Tse). Untungnya ada seorang jendral yang bernama Yue Fei ( bahasa Hokkian Gak Hoei) memimpin tentara Song untuk melawannya dengan gigih, disamping itu Beliau melindungi ibu kota Song Selatan. Beliau dengan patriotiknya membela negaranya dan telah mengambil kembali banyak daerah Song yang telah diduduki oleh tentara kuda Jin yang terkenal. Sayang sebelum Beliau dapat mengambil kembali ibu kota Song yang dahulu, hanya masih kira-kira 22 kilomter jaraknya. Waktu Yue Fei akan melewati Sungai Kuning bagian utara, Jendral Yue Fei dipanggil pulang secara mendadak oleh raja Gao. Raja Gao mendengar kata-kata pengkhianat yang bernama Chin Kuai yang membisiki raja dengan perkataan bahwa Yue Fei kalau menang Beliau akan mengundang kembali kaisar Wei dan Xin yang masih ditangkap oleh suku Jin untuk naik tahtanya kembali. Maka kalau raja tidak mengambil tindakan sekarang, kedudukan raja Gao akan susah dipertahankan. Chin Kuai juga mengatakan bahwa Jendral Yue Fei akan memberontak dan menganjurkan agar Yue Fei ditangkap segera kalau datang, lalu dibunuh.

Kematian Yue Fei membuat marah semua rakyat dan menganggap Chin Kuai sebagai pengkhianat negara. Kemudian. Raja Xiao dari Song Selatan merehabilitasi nama Yue Fei dan di kota Hang Zhou dibangun di daerah Xi-Hu (telaga Hu yang cantik) gedung kuburan Jendral yang patriot ini yang sampai sekarang di hormati. Ironisnya pada masa RBKP dirusak oleh Garda Merah yang oleh Mao Ze-Dong dinamakan jendral jendral kecil. Didepan patung Yue Fei dibuat dua patung suami istri Chin Kuai yang berlutut pada Yue Fei. Dan dihina oleh rakyat Tiongkok. Patung Yue Fei sekarang sudah dibetulkan lagi dan menjadi lebih bagus. Turist yang berkunjung ke Hangzhou dapat menikmati tugu pahlawan Yue Fei ini.

Ada orang yang membenci Chin Kuai membuat model manusia dari tepung terigu yang mencerminkan Chin Kuai dan istrinya, disatukan jadi satu, lalu di goreng dan dimakan. Dahulu makanan ini dinamakan Yu –Zha (goreng dengan minyak) Chin Kuai, lalu diringkas menjadi Yu Zha Kuai (Hokkian Yu Tjah Kwee), Tjah kwee atau Yutiao (Mandarin).

Dr. Han Hwie Song
Breda, 5 april 2004

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

SEJARAH SOTO & PENYEBARANNYA

Makanan khas yang konon asalnya dari Cina ini telah menjadi bagian dari makanan masyarakat Indonesia. Dengan menyesuaikan olahan bumbu agar pas dengan lidah orang Indonesia, lahirlah kemudian Soto Semarang, Soto Kudus, Soto Madura, Soto Bangkong, Tauto Pekalongan, Sauto Tegal dan sebagainya.

Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat ada yang menyebutnya Sauto.

Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang memiliki teknologi membuat mi dan soun, ujarnya.

Soto juga kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit. Ini seperti kari dari India, ujarnya. Karena soto merupakan campuran dari berbagai tradisi, ungkap Lono, asal usulnya menjadi sulit ditelusuri. Soto itu seperti dangdut yang mendapat pengaruh dari berbagai tradisi. Ya, sudah kita terima saja.
Penyebaran soto ke berbagai daerah di Indonesia seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses industri. Penyebaran ini, lanjut Lono, diikuti dengan upaya lokalitas. Proses lokalitas soto mungkin sama seperti lokalitas Islam maupun Kristen di Indonesia. Inilah yang mengakibatkan muncul berbagai jenis soto di Indonesia.

Konon, di seluruh wilayah kota Kudus, dan beberapa daerah sekitarnya bahkan di Pekalongan, ada larangan untuk memotong sapi. Budaya ini adalah warisan budaya Hindu Jawa yang menganggap sapi sebagai hewan suci, sehingga tidak boleh dimakan. Walaupun budaya Hindu sudah hilang pengaruhnya sejak kisaran 800 tahun yang lalu, kebiasaan tidak memakan sapi masih diwariskan hingga sekarang. Warisan Hindu yang ada di wilayah Indonesia disimbolkan dengan pilihan daging ayam dan kerbau. Mereka sendiri tidak suka menyantap sapi, namun lebih suka menyantap daging kerbau. Alhasil, segalanya serba kerbau: sate kerbau, pindang tetel daging kerbau, dan tentu saja soto/tauto daging kerbau.

Orang cina memiliki aturan dalam makan, seperti, larangan makan daging kerbau, larangan menyisakan makan terutama nasi. Aturan itu merupakn aturan lama yang sudah ditinggalkan oleh orang Cina saat ini.


Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercita rasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan peresan jeruk limau sebagai kondimen. Penghidangannya bisa dipilih, apakah langsung dicampur dengan nasinya atau dipisah. Penyajian yang asli adalah dimana nasinya langsung dicampur dengan soto, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menyajikan nasi sebagai makanan pokok.
Serbuk koya yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Berbeda dengan soto ayam Lombok di Malang, koyanya disini sudah ditakar dan tidak biasa ditakar sendiri.

Irisan bawang putih yang digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa Pontianak. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih, untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.

Cara menjajakan dengan pikulan adalah salah satu akulturasi yang terjadi. Pikulan ini sering dipakai oleh orang cina dahulu, namun untuk sejarahnya sendiri kurang diketahui oleh penulis. Saat orang cina bertransmigrasi ke sini orang Cina banyak yang berjualan dengan cara eceran. Orang-orang Cina-lah yang mendistribusikan banyak barang. Jadi, posisi orang Cina kebanyakan sebagai distributor antara orang Belanda sebagai produsen dan orang pribumi sebagai konsumen.

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

SEJARAH Nasi Goreng


Yang nggak suka nasi goreng tunjuk tangan? Hehe.. Siapa sih yang nggak suka nasi goreng, tapi kamu sendiri tau nggak asal-usul nasi goreng? Nasi goreng atau nama aslinya Hanzi yang sering kamu makan ini berasal dari Tionghoa, dan udah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng memang masakan tradisional masyarakat sana. Awal mula terciptanya masakan ini karena dalam kebudayaan Tionghoa, masyarakatnya nggak suka mencicipi makanan dingin, dan suka membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Kemudian karena sayang selalu dibuang, nasi yang dingin itu digoreng kembali dan dihidangkan dengan lezat dimeja makan, yummy! Mulai deh nasi goreng dikombinasikan dengan bumbu yang berbeda, dimasak dengan cara yang berbeda-beda juga, hingga akhirnya terus menyebar ke Asia Tenggara, dan jadi hidangan khas Indonesia.

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

SEJARAH BACANG

Hari Raya Duan Wu Jie {Hok Kian = Twan Ngo Ciap} atau yang lebih terkenal dengan sebutan Hari Raya Peh Cun diperingati setiap tahun pada Go Gwe Cwe Go (tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek). Pada hari tersebut biasanya orang Tionghoa mempersembahkan bacang dan kue cang untuk sembahyang. Dari manakah asal mula bacang tersebut?

端午節 Duan Wu Jie adalah salah satu dari 3 Hari Raya Besar yang diperingati oleh orang-orang Tionghoa. [ 2 hari raya lainnya adalah 春節 Chun Jie (Hari Raya menyambut Musim Semi – Tahun Baru Imlek) & 中秋節 Zhong Qiu Jie (Hari Raya Tiong Ciu – Pertengahan Musim Gugur). ]

Walaupun asal mula Duan Wu Jie menurut legenda ada 3 macam [ 2 yang lainnya adalah untuk memperingati Putri Berbakti 曹娥 Chao E pada masa Dinasti Han Timur (25 – 220 M) yang mati terjun ke sungai karena berkabung atas meninggal ayahnya, & untuk memperingati hari wafatnya 伍子胥 Wu Zi Xu dari negara Chu yang hidup pada masa 春秋 Chun Qiu (770 – 476 SM) ], namun asal mula Hari Raya Duan Wu Jie yang sangat terkenal & diperingati di Tiongkok, Taiwan, dan lain-lain adalah berdasarkan wafatnya 屈原 Qu Yuan yang meninggal terjun ke sungai 汨羅江 Mi Luo. Qu Yuan dengan kesetiaannya berkorban untuk rakyat dan negara. Di Taiwan, Qu Yuan juga dihormati sebagai 水仙尊王 Shui Xian Zhun Wang (Dewa Air Yang Terhormat).

Dinasti Zhou pada zaman peperangan di Tiongkok + 2.400 tahun yang lalu (475-221 SM) terbagi 7 (tujuh) Negara. Negeri Qin adalah yang paling kuat dan agresif, sering melakukan serangan (agresi militer) terhadap enam negeri lainnya. Qu Yuan (baca : Chi Yen) adalah seorang menteri besar dan setia dari negeri Chu (salah satu dari keenam negeri yang diserang negeri Qin). Beliau adalah seorang tokoh yang berhasil menyatukan keenam negeri untuk menghadapi agresi negeri Qin, sehingga namanya amat disegani di negeri Qin.

Qu Yuan pernah menghalangi Raja 楚懷王 Chu Huai Wang untuk memenuhi undangan raja negeri Qin ke ibukotanya. Namun sayang sekali pada waktu itu Raja Chu Huai Wang telah termakan siasat adu domba dari Negeri Qin, hubungannya menjadi renggang dengan Qu Yuan dan tidak mau mempercayai sarannya lagi.

Untuk mengatasi hati yang sumpek, Qu Yuan menulis sajak 離騷 Li Sao, mengharap Raja Chu Huai Wang mawas diri & tidak termakan siasat adu domba tersebut.

Akhirnya Raja Chu Huai Wang tertipu oleh janji-janji Raja Qin untuk datang ke ibukotanya, lalu dipenjarakan di sana, sampai akhirnya mangkat di Negeri Qin.

Setelah Raja 楚襄王 Chu Xiang Wang naik tahta menggantikan Raja Chu Huai Wang, tidak hanya tidak terpikir untuk balas dendam, bahkan sebaliknya menjadikan Raja Qin sebagai ayahnya ! Ditambah lagi ada sebagian menteri yang mendapat keuntungan dari Negeri Qin, di luar dugaan malah menyarankan Raja Chu Xiang Wang agar menyerah kepada Negeri Qin.

Qu Yuan berusaha menentang masalah ini, berdebat dengan Raja Chu Xiang Wang sehingga menyebabkannya marah besar, lalu memecat Qu Yuan yang telah mengabdi bertahun-tahun di negeri Chu, dan mengirimnya ke tempat pembuangan di 長沙 Chang Sha.

Qu Yuan melewati kehidupan sebagai orang pelarian selama 9 tahun, telah melewati hari-hari yang tragis di mana negeri hancur keluarga berantakan. Qu Yuan yang sebenarnya bertekad untuk melindungi negara, menjadi putus asa, & akhirnya pada tanggal 5 bulan 5 Imlek bunuh diri terjun ke sungai Mi Luo (sekarang Sungai 錢塘Qian Tang di Propinsi 浙江 Zhe Jiang). Beberapa orang yang mengetahui berusaha menolong, tetapi tidak berhasil. Jenazahnya pun tidak ditemukan. Qu Yuan wafat pada usia 62 tahun.

Rakyat Negeri Chu sangat bersedih setelah mengetahui bahwa Qu Yuan, menteri mereka yang sangat cinta Negeri telah meninggal, lalu mereka berduyun-duyun mendayung perahu ke Sungai Mi Luo untuk mencari & mengeluarkan jenazah Qu Yuan dari dalam sungai. Namun mereka tidak berhasil menemukan jasadnya. Lalu mereka pergi ke tepi sungai menyatakan duka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Qu Yuan. Mereka melemparkan makanan ke sungai untuk dimakan ikan, udang & hewan laut lainnya, sehingga hewan2 tersebut tidak memakan tubuh Qu Yuan.

Tak lama kemudian, rakyat seluruh negeri menyelenggarakan upacara untuk memperingati Qu Yuan, menganggap bahwa semangat cinta Negeri dari Qu Yuan sungguh-sungguh sangat mulia.

Setelah Qu Yuan terjun ke Sungai Mi Luo, ada seorang dari Negara Chu yang bertemu dengan arwah Qu Yuan. Qu Yuan memberitahu orang ini, orang-orang yang menghormati Qu Yuan dengan melempar makanan ke sungai semuanya habis diperebutkan ikan-ikan & udang. Maka Qu Yuan berpesan kepada orang tersebut untuk menyampaikan kepada orang banyak agar makanan yang dipersembahkan dibungkus dengan daun bambu, & dipersembahkan pada tanggal 5 bulan 5 Imlek. Inilah asal mula makan bacang pada Hari Raya Duan Wu Jie.

Qu Yuan yang seumur hidupnya amat setia kepada negara, telah menulis sangat banyak karya sastra. Beliau meninggalkan nama harum sepanjang masa. Untuk menyatakan rasa hormat dan cinta Qu Yuan kepada Negeri, maka tanggal 5 bulan 5 (Imlek) ini juga merupakan Hari Raya Penyair di Tiongkok.

Orang-orang pada generasi berikutnya, untuk menghormati & memperingati wafatnya Qu Yuan, melakukan adat istiadat 扒龍船 Ba Long Chuan, membentuk Perahu Naga, & mengadakan 龍舟競賽 Long Zhou Jing Sai, Lomba Dayung Perahu Naga.

Diadakannya Perlombaan Perahu Naga di Hari Raya Duan Wu Jie, adalah mengingatkan usaha mencari jenazah Qu Yuan yang terjun ke sungai.

Zaman sekarang, begitu tiba Hari Raya Duan Wu Jie, di berbagai tempat diselenggarakan Lomba Dayung Perahu Naga, pertama untuk memperingati Qu Yuan, mengembangkan semangat cinta Negeri; kedua untuk menggalakkan olahraga, baru bisa dengan badan yang sehat untuk melindungi Negeri. Selain itu, sekeluarga berkumpul bersama sambil makan bacang, juga dapat menikmati bersama kebahagiaan keluarga.

Kelenteng yang khusus untuk menghormati Qu Yuan jarang ada. Di Taiwan, kelenteng khusus untuk menghormati Qu Yuan adalah 屈原宮 Qu Yuan Gong di 洲美 Zhou Mei, 士林 Shi Lin, 臺北 Taipei, yang didirikan pada 6 Nopember 1981 (Imlek bulan 10 tanggal 10).

O

—oooOOOooo—

O

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

Sejarah dan Manfaat Tempe

Penelusuran asal-usul tempe cukup sulit karena menghadapi beberapa kendala, diantaranya karena faktor tulisan dan bahasa. Tulisan Jawa Kuno sudah hampir punah dan bahasa Jawa Kuno nyaris berubah menjadi bahasa Jawa Baru.

Dalam buku Bunga Rampai Tempe Indonesia, Mary Astuti, seorang pakar tempe dari Universitas Gajah Mada menuliskan asal-usul kedelai dan tempe berdasarkan hasil penelusuran dokumen yang ada. Menurutnya (dari dua buah kamus), kedelai berasal dari bahasa Tamil (India Selatan) yang berarti kacang kedelai (mung bean, soybean).

Berdasarkan catatan para pedagang Cina yang datang ke Jawa pada zaman Dinasti Sung (abad X), pulau Jawa merupakan daerah pertanian yang subur dengan hasil pertanian berupa padi, rami, dan polong-polongan, tetapi tidak terdapat gandum (Groenevelt, 1960). Para pedagang Cina yang berdagang dengan orang Jawa memberikan informasi (sekitar abad XXI) bahwa barang-barang dagangan dari Jawa adalah kapuk, buah pinang, pala, fuli, cengke, gambir, nangka, dan pisang. Sebaliknya, dari Cina diimpor boraks, sutera, dan aluminium. Kedelai tidak disebutkan dalam daftar komoditas impor Cina tersebut, suatu bukti bahwa kedelai belum diperhatikan dan dibudidayakan di negeri Cina.

Mary Astuti menulis bahwa dalam pustaka Serat Sri Tanjung (sekitar abad XII dan XIII) yang bercerita mengenai Dewi Sri Tanjung, terselip kata kedelai yang ditulis sebagai kadele. Salah satu baitnya menggambarkan jenis tanaman di Sidapaksa yang mengandung kata kedelai, kacang wilis, dan kacang luhur.

Kata kedelai tidak hanya ditemui dalam Serat Sri tanjung, tetapi juga dalam Serat Centhini. Oleh penulisnya, Serat Centhini disebut Suluk Tambangraras. Pada Serat Centhini, kata kedelai terdapat pada jilid II, sedangkan kata tempe terdapat pada jilid III. Serat Centhini jilid III tersebut menggambarkan perjalanan Mas Cebolang dari Candi Prambanan menuju Pajang dan mampir di Tembayat, Kabupaten Klaten. Di sana, Pangeran Bayat dijamu dengan lauk-pauk seadaanya, termasuk tempe.

Dalam The Book of Tempeh Dr. Sastroamijoyo memperkirakan bahwa tempe sudah ada lebih dari 2.000 tahun yang lalu. Saat itu bangsa Cina membuat makanan dari kedelai yang hampir mirip tempe, yaitu koji (sejenis kecap). Makanan tersebut terbuat dari kacang kedelai matang yang diinokulasi dengan Aspergillus oryzae. Metode inokulasi ini kemudian dibawa para pedagang Cina ke Pulau Jawa dan dimodifikasi agar sesuai dengan selera orang Jawa. Modifikasi dilakukan dengan mengganti Aspergillus oryzae dengan Rhizopus yang sesuai dengan iklim Jawa.

Pada zaman Jawa kuno, terdapat makanan yang dibuat dari sagu, disebut tumpi (Zoetmulder, 1982). Oleh sebab tempe juga berwarna putih dan penampakannya mirip tumpi maka makanan olahan kedelai ini disebut tempe.

Penemuan-penemuan tersebut sudah merupakan bukti yang cukup untuk memastikan bahwa tempe berasal dari Jawa. Tempe merupakan ciptaan dan menjadi budaya orang Jawa. Penyebaran tempe saat ini sudah berkembang di seluruh tanah air dan tidak terlepas dari ciri-ciri dan budaya Jawa itu sendiri.

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

SEJARAH Asal Usul Sumpit

Sumpit diciptakan bangsa Tiongkok dan sudah dikenal di Tiongkok sejak 3.000 hingga 5.000 tahun yang lalu. Sumpit telah digunakan jauh sebelum penggunaan sendok dan garpu di Eropa (pisau ditemukan terlebih dahulu, namun lebih sebagai senjata, baru kemudian dibentuk khusus sebagai alat makan). Penggunaan sumpit dikembangkan oleh Confusius (551-479 BC). Orang-orang Tionghoa yang waktu itu menganut Konghucu, menganggap penggunaan sendok dan garpu adalah semacam kekejaman, bagaikan senjata dingin.


Sumpit lebih mencerminkan keanggunan dan belas kasih, sebagai ajaran moral utama dari Konghucu. Di dalam masyarakat Tionghoa, makan bersama dianggap sebagai sarana mempererat tali persaudaraan dan kesempatan berkumpul dengan sanak keluarga dan teman-teman, sehingga penggunaan alat makan yang tajam harus dihindari. Oleh karenanya, alat yang dapat melukai orang tidak boleh ada diatas meja makan, itulah mengapa masakan Tiongkok (chinese food) biasanya sudah dipotong-potong ukuran kecil sebelum dimasak, agar tidak perlu lagi ada pisau dan garpu diatas meja makan.

Bagi orang Tionghoa yang terbiasa menggunakan sumpit sejak kecil untuk mengambil nasi dan lauk, tentu dapat menikmati makan menggunakan sumpit. Namun bagi orang barat yang tidak terbiasa, mereka akan kesulitan, terutama dalam menjumput nasi dari mangkok untuk dimasukkan kedalam mulut. Sebaiknya dalam menjamu mereka dengan Chinese Food yang memakai sumpit, beri mereka kesempatan untuk belajar menggunakan sumpit dengan memberikan contoh. Bila mereka tetap merasa tidak nyaman, pesankan juga sendok dan garpu.

Ada juga kepercayaan tradisional setempat mengenai sumpit. Bila kita menemukan sepasang sumpit yang ganjil (tidak sama tingginya) di meja makan, pertanda kita akan kehilangan harta. Menjatuhkan sumpit pertanda nasib buruk. Mencapkan sumpit tegak lurus diatas makanan yang akan dimakan tidak boleh, karena itu adalah penyajian makanan untuk orang mati (biasanya saat sembahyang Ceng Beng). Di restoran dimsum, bila selesai makan, sumpit boleh diletakkan bersilang di mangkok sebagai pertanda bagi pelayan bahwa Anda sudah selesai makan dan minta bon diantar.

Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)

Huize Trivelli


HUIZE TRIVELLI Heritage Resto and Pattisier adalah tempat yang tepat untuk para penikmat hidangan original masakan Tempo Doeloe. Dalam klasiknya suasana Laan Trivelli anda dapat menikmati keunikan serta kelezatan kulinari yang dari generasi ke generasi tertulis di resep tradisi keluarga kami, Keluarga HUIZE TRIVELLI. Selain kelezatannya, semua hidangan, minuman, serta panganan di HUIZE TRIVELLI hanya dibuat dari bahan-bahan berkualitas tanpa pengawet.

LAAN TRIVELLI adalah nama sebuah jalan panjang di era kolonial dahulu. Jalan yang membentang dari Jalan Abdul Muis menyeberangi Kali Tjideng dan berakhir di Jalan Batanghari-Tulang Bawang ini sekarang kita kenal dengan nama JALAN TANAH ABANG DUA. Pada masa kolonial –sekitar tahun 1939-1940- kawasan Laan Trivelli dibangun untuk area pemukiman milik bangsa Eropa-Belanda di Batavia. Pada masa pendudukan Jepang, kawasan pemukiman ini digunakan untuk kamp tahanan wanita dan anak-anak warga Eropa-Belanda yang dikenal dunia sebagai KAMP TJIDENG.

BANGUNAN RESTO HUIZE TRIVELLI menempati salah sebuah rumah asli dari perumahan warga Eropa-Belanda yang dibangun sekitar tahun 1939. Selama sekitar 50 tahun bangunan asli ini telah menjadi rumah keluarga kami. Namun, pesatnya pembangunan gedung-gedung perkantoran di kawasan ini, membuat rumah-rumah asli berkurang secara drastis.

Laan Trivelli atau Tanah Abang Dua tak hanya menjadi bagian dari sejarah Batavia, ia juga menyimpan indahnya kenangan masa kecil kami sebagai keluarga HUIZE TRIVELLI. Kondisi serta lingkungan kawasan ini sekarang menyadarkan kami akan pentingnya pemeliharaan, pelestarian bangunan dan budaya yang pernah ada serta berbagi kesemua itu dengan anda.

ATMOSFIR yang tercipta dari interior klasik eklektik, secara harmonis memadukan elemen-elemen kultural Eropa, Jawa, dan Cina. Dari kehangatan dan kenyamanan Roemah ini, kami menyambut kedatangan anda di HUIZE TRIVELLI: Roemah tercinta keluarga kami dan tempat bersantap yang membuat anda merasa “SEPERTI DI ROEMAH SENDIRI”.

Selamat datang dan selamat menikmati

SEJARAH

Keluarga kami berasal dari Klan keluarga Betawi Tempo doeloe yang telah bermukim sejak kl 200 tahun lalu . Sejak ratusan tahun lalu Batavia menjadi tempat persinggahan, pusat perdagangan, dan bahkan tempat bermukim bangsa-bangsa dari berbagai penjuru dunia. Kondisi sosial dan budaya yang sangat beragam tersebut membuat kaum Betawi memiliki tradisi serta budaya yang unik. Yaitu budaya dan tradisi yang merupakan hasil akulturasi berbagai budaya dan tradisi seperti Arab, Cina, Eropa, serta beragam budaya tradisonal yang berasal dari Indonesia sendiri. Hasil akulturasi budaya dan tradisi itu pun mengejawantah dalam berbagai aspek kehidupan didalam keluarga kami dalam bentuk tradisi kulinari .

TRADISI KULINARI WARISAN KELUARGA

Akulturasi budaya dan tradisi tersebut telah mengejawantah dalam tradisi kulinari keluarga kami .Adaptasi masakan dari berbagai latar belakang budaya menghasilkan beragam resep masakan yang tidak hanya kaya rasa tetapi juga unik. Masakan yang dihasilkannyapun dari waktu ke waktu cukup diminati masyarakat. Oleh karenanya resep-resep masakan tersebut menjadi warisan yang sangat berharga bagi keluarga kami.

Sekitar tahun 60-an keluarga kami merintis usaha kecil pembuatan aneka kue kering.

Dimulai dengan menawarkan dari pintu ke pintu, aneka kering buatan kami diterima di Sarinah Department Store. Sebuah pusat perbelanjaan prestigious pertama di Indonesia ketika itu.


HUIZE TRIVELLI-RUMAH KAMI DI LAAN TRIVELLI

Sejak tahun 1954, keluarga kami menghuni sebuah rumah yang berlokasi di Laan Trivelli 108, Batavia(sekarang:Jalan Tanah Abang Dua no.108)

Dibangun tahun 1939 , bangunan ini merupakan satu dari perumahan yang diperuntukkan bagi warga Eropa-Belanda di Batavia. Awalnya baik rumah maupun lahannya rumah yang kami huni merupakan milik Mevr J.C.H de Jongh geboren Van Slooten. Namun kemudian kepemilikan beralih kepada Drs. O. De Bruin bersama Drs. J.M Castelein yang pada saat itu bekerja untuk Kementrian PPK (Ministerie van Onderwijs).

Kawasan Laan Trivelli memiliki sejarah tersendiri bagi Batavia tempo doeloe di era kolonial. Laan Trivelli mencerminkan kehidupan Batavia baru Weltevreden(sekarang:Jakarta pusat).Rumah2 bertaman cukup luas berjajar apik di kedua sisi jalan yan diteduhi pepohonan besar.

Pada masa pendudukan Jepang(1942-1945) kawasan pemukiman Laan Trivelli digunakan sebagai Kamp tahanan wanita dan anak2 bagi warga Eropa-Belanda. Dan karena melintasi kali Tjideng, maka dunia mengenal kamp tahanan ini sebagai KAMP TJIDENG. Rumah keluarga kami sendiri terletak di Blok III dari keseluruhan kawasan kamp tahanan disepanjang jalan Laan Trivelli.

Pembangunan yang sangat pesat sejak kemerdekaan Indonesia , turut mempengaruhi kondisi lingkungan dan sosoial di Laan Trivelli. Gedung-gedung perkantoran dan pertokoan dengan pesat menggantikan rumah-rumah dari masa kolonial. Saat ini hanya tinggal beberapa buah rumah yang masih berdiri dalam keasliannya. Rumah keluarga kami adalah salah satu diantaranya.

Begitu banyak hal yang mendasari dan mendorong kami untuk menjadikan Roemah Keluarga ini menjadi HUIZE TRIVELLI Heritage Resto dan Pattisier. Dengan menjadikannya sebuah tempat bersantap kami berharap Huize Trivelli dapat memperkenalkan kembali tradisi kulinari keluarga kami . Selaras dengan keinginan berbagi kenangan mengenai kehidupan Batavia tempo doeloe kami berharap HUIZE TRIVELLI dapat menjadikananda dalam bersantap merasa “ SEPERTI DI RUMAH SENDIRI”.

Lokasi

HUIZE TRIVELLI

Heritage Resto and Pattisier

Jalan Tanah Abang Dua 108. Jakarta 10150

Tel./Fax. 021 3865803

Homepage:

www.huize-trivelli.com

Email us :

info@huize-trivelli.com or

management@huize-trivelli.com

Report by: Eny Prasetyawati

BIR PLETOK

Bir ini minuman Halal, karena memang nggak ada alkohol dan dibuatnya dari gula, jahe dan kayu secang …Inilah minuman tradisional Betawi …alias Bir Pletok ….

Kita bisa temukan dan beli bir pletok ini di Kampung Budaya Betawi di Situ Babakan – Srengseng Sawah seharga 10ribu rupiah saja… yang mau silahkan kesana … bisa liat pembuatannya sekalian …. namanya juga wisata kuliner.. banyak makanan dan minuman tradisional betawi punya …

Mari kita lestarikan budaya kuliner kita....

sumber : http://makanlagilagimakan.wordpress.com/tag/betawi/

- Lily -

MIE SELAT


Pertama kali mendengar Mie Selat, rada bingung juga makanan jenis apa?.

Itu pengalaman pertama kali datang ke Jakarta dan berkunjung ke tempat kost an sepupu di daerah Jatinegara di tahun 1990 an.

Setelah menghadapi makanannya ternyata mie selat adalah serupa dengan gado-gado namun sebetulnya bedanya cukup jauh juga. Bahan utamanya mie basah dingin yang biasanya dicampur dengan kentang, sayuran, tahu dan diberi bumbu kacang yang encer plus toping kerupuk (makanya sepintas jadi mirip dengan gado-gado). bumbu kacangnya beda dengan gado-gado karena untuk mie selat si bumbu kacang diberi campuran bawang putih seperti ketoprak namun lebih encer. Selain ada tambahan bawang putih, bumbu kacang mie selat biasanya terasa lebih asam dibandingkan bumbu ketoprak atau gado-gado.

Mungkin hanya sedikit orang yang mengenal nama jenis makanan yang agak langka ini. Entah darimana asalnya makanan satu ini, mungkin mie selat ini sejenis makanan peranakan peranan Cina Betawi sebab aku juga baru mengenal makanan ini setelah tinggal di Jakarta

Kalau mau cobain ada di "Gado-Gado Jatinegara" atau ke Pasar Cawang Kavling dan cari encik2 yang jualan Mie Selat namanya encik Elan dari jalan Kebun Sayur, Cawang dan aslinya Mie Selat ini dari Jembatan Hitam Mester.

Mari kita hunting kuliner budaya kita .....

-Lily -

SOTO BETAWI KARTINI RAYA


Mengingat nostlagia jaman masih di Pelatnas, pulang dari Ragunan ke mess Kartini Raya, Jakarta Pusat kita langsung menyantap soto betawi yang ada di pinggir jalan tersebut. Soto betawi ini bukanya mulai sore hari sampai tengah malam.
Soto betawi yang merupakan salah satu warisan budaya kuliner makanan asli Jakarta ini, di era modern ini tidak kalah bersaing dengan kuliner modern yang mewah.
Pelanggan di sini mulai dari yang jalan kaki, naik sepeda, naik motor, mobil umum, mobil pribadi sampai mobil mewah.
Rasanya mantap apalagi dengan dicampur jeruk limo, sambel, kecap manis ditambah dengan acar timun. Nyam...nyam...
Jadi lapar nih......
Nggak sulit nyari lokasinya kalau dari arah Sawah Besar sebelum perempatan Gunung Sahari, belok kiri masuk jalan Kartini Raya, nggak jauh dari situ sebelah kiri dan di pinggir kali kita bisa nemuin tenda Soto Betawi.
Don't miss it guys...


- Lily -


Soto Mie Karang Anyar


Menurut cerita dari orang asli Jakarta kalau Soto Mie yang letaknya di daerah Pasar Baru, Jl. E Karang Anyar sudah ada sejak kurang lebih separo abad yang lalu. Ini adalah salah satu warisan budaya kuliner yang bertahan sampai dengan saat ini. Soto mie Nikmat milik keluarga Haji Sahadi khas Rancamaya, Bogor awalnya berbekal pikulan dan dijajakan keliling di daerah Krekot Bunder.

Lokasi tempat makan ini tidak di pinggir jalan utama karena lebih tepat di sebut gang dan berada di lingkungan perumahan jadi bagi yang baru kenal dengan soto mie ini, agak sulit mencari. Tapi soto mie ini sudah cukup kesohor sehingga orang di seputaran Jalan Karang Anyar bisa jadi peta berjalan. Sederhana tapi cukup bersih, begitu tampilan tempat ini. Di bagian depan ada plang bertuliskan Soto Mi Haji Sahadi. Kalau kita datang, langsung dilayani dan biasanya kita akan ditanya, apakah ingin soto mie campur, atau ada pilihan lain. Campuran soto mie sederhana saja, bihun, mie, kol, diguyur kuah daging dengan potongan daging. Tambahannya, risoles dan emping bulat sebesar piring ukuran sedang. Biasanya emping dipecah-pecah dan diberikan kecap manis. Untuk harga Rp 15.000/porsi, ukuran soto mie semangkok besar dengan daging menumpuk menutupi campuran lain, tentu sepadan. Jika Anda ingin tambah emping, ya, tambah Rp 3.000 sedangkan satu risoles dibanderol Rp 1.000. Soal rasanya berbeda dari soto mie lain. Menurut Sumayadi, putra kedua dari enam bersaudara, yang kini bergantian dengan adik-adiknya menjalankan bisnis ayahnya, Haji Sahadi, daging yang digunakan sejak jaman sang ayah adalah daging kepala dan urat ditambah daging sop (daging iga). Hajah Mumun, istri Haji Sahadi, memang diserahi tugas mengelola bisnis ini namun karena usia beranjak senja, maka urusan ini akhirnya diturunkan pada keenam putra-putrinya. ”Kita bergantian seminggu-seminggu jaga di sini,” kata Sumayadi.

Sekarang Soto Mie Karang Anyar sudah memikili cabang di ruko Kelapa Gading, di Jalan Boulevard Raya FX1 no 3, yang mengelola adik dan kakak perempuan Sumayadi. Buat yang suka makanan berkuah, di siang yang panas atau siang selepas hujan, soto mie ini bisa jadi pas. Bumbu dan kuah daging, apalagi jika ditambah sambal, cuka, kecap manis, slurpppp ... ini beradu dan menghasilkan rasa yang bikin mulut enggan berhenti menyeruput sampai kuah ludes. Soto Mi Nikmat Haji Sahadi buka dari Senin-Minggu sejak pukul 08.00 hingga pukul 19.00.

Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2009/07/04/11404816/Soto.Mie.Karang.Anyar..Bertahan.Lebih.dari.Setengah.Abad

- Lily -

Es teller MEGARIA (Sari Mulia Asli)


Es Teler adalah minuman es berisi potongan buah alpukat, kelapa muda, nangka matang, dan santan kelapa encer dengan pemanis berupa sirup. Es yang dipakai bisa berupa es serut atau es batu.

Variasi lain es teler berisi cincau, kolang-kaling, dan pacar china, potongan buah apel, pepaya, sawo, melon, roti, dan agar-agar, hingga es teler menjadi sulit dibedakan dengan es campur.

Sejarah, Es teler diciptakan Tukiman Darmowijono, pedagang es campur dengan gerobak di Jalan Semarang Jakarta Pusat pada tahun 1980-an. Es campur kreasi Tukiman begitu enak sehingga anak-anak muda yang meminumnya mengaku keenakan seperti "teler" akibat mengkonsumsi narkoba. Es kelapa muda bercampur alpukat yang dijual Tukiman di Jalan Semarang kemudian dikenal sebagai "es teler."

Lantas bagaimana kisahnya hingga es teler ini bisa berada di Kompleks Megaria dan menjadikan kawasan itu bercitra es teler? Pembeli yang datang bermobil menimbulkan antrian parkir mobil yang dirasakan penduduk Jalan Semarang dan sekitarnya sebagai pengganggu ketenangan. Jalan Pegangsaan tahun 1970-an jadi tempat berkumpulnya musisi seperti Keenan Nasution, almarhum Chrisye, Fariz RM, Ramli, dan Guruh Soekarnoputra. Selain, tentu saja, anak muda lain di masa itu. Maka dagangan Tukiman mulai mendapat tempat di hati warga Jakarta, tentu lewat promosi dari mulut ke mulut dan liputan media massa.. Es teler Tukiman harus pindah ke Jalan Pegangsaan Barat dan kemudian ke dalam kompleks bioskop Megaria. Kedai es teler Tukiman di kompleks bioskop Megaria sekarang bernama kedai ayam bakar dan es teler Sari Mulia Asli.

- Eny -

Susu Tante (Ketan Susu Kelapa Parut)


Ketan Pakai Susu dan Kelapa Parut

Ingin menikmati makanan murah meriah dan menghangatkan?

Jenis makanan ini bisa ditemukan di warung ketan susu di Garuda Ujung Kemayoran, Jakarta Utara. Selain menjual ketan susu, warung yang sudah beroperasi sejak 1960-an ini juga menyediakan aneka gorengan dan tehpoci.

Proses pembuatan ketan susu tidak ribet. Selama satu jam ketan diolah. Setelah matang ditaburi parutan kelapa lalu disiram susu. Tidak tanggung-tanggung, dalam satu hari warung ini bisa menghabiskan tiga karung beras ketan.

Ketan disantap dengan gorengan, salah satunya tempe. Rasanya pun unik, perpaduan antara rasa manis, gurih, asin yang berasal dari ketan, kelapa, susu, dan tempe. Untuk bisa menikmati makanan ini pengunjung cukup mengeluarkan uang Rp 3.000, sudah termasuk ketan susu dan tempe. Sementara teh poci juga sehargaRp 3.000.Warung ini buka selama 24 jam.(YNI/AncaLeksmana)

benarnya kita punyatempe, singkong, dan tempe goreng. Minumannya biasa aja sama seperti warung kopi lainnya, ada kopi, kopi susu, air jeruk dan tehmanis. Tapi biasanya mereka yang datang kesini pasti mencarinya ketansusu," ujar Amin.
Setiap hari warung yang berukuran hanya 3 x 3 meter ini selalu penuh sesak dengan kedatangan para pengunjung. Mereka yang datang tidak hanya warga sekitar tapi juga warga di luar Kemayoran seperti CempakaPutih, Sunter, Kelapa Gading, dan Rawamangun.

Keistimewaan ketan susu adalah rasa ketan yang gurih dengan butir-butir beras ketan yang lembut. Apalagi jika sudah dicampur dengan parutan kelapa dan susu manis kental diatasnya. "Ketannya biasa saja di rebus," kata Amin. Tanpa susu kental manis, ketan sudah terasa gurih. Tapi tak jarang saking gurihnya pengunjung yang meminta sedikit saja dilumuri susu kental manis. Biasanya menikmati ketan susu 'teman' bersantap ada sepotong tempe yang digoreng garing. "Ketan susu selalu makannya pakai tempe goreng," kata Amin. "Ada tempe selalu ada ketan susu," lanjutnya lagi. Satu porsi ketan (tanpa susu kental) dengantempe garing harganya Rp 2.500,-Sedangkan bila ditambah dengan susu kental manis harganya Rp 3.000,- Untuk minumnya teh poci selalu jadi minuman yang tak boleh dilupakan. Kalau datang pada malam hari sambil ngobrol-ngobrol menyerumput teh poci terasa lebih nikmat. Harganya teh pociRp 3.000,- yang bisa diseduh untuk 2-3 orang.

- Shallynt & Debby -

Nasi Lonte


Ada sedikit cerita tentang pemburuan Nasi Lonte ini. Itu adalah hari pertama saya tiba di Medan. Pesawat mendarat dari Kuala Lumpur di Polonia Airport Medan sekitar jam 8 malam. Staf Hotel Polonia (hotel yang saya booking) datang menjemput.

Barengan saya ada satu tamu dari Jakarta. Dengan sendirinya saya ajak dia bicara. Rupanya tamu tersebut adalah pengusaha yang secara rutin setiap 2 minggu sekali ke Medan. Dia memberi nasehat agar hati-hati kalau malam hari berkeliaran di Medan karena banyak preman dan tukang taksinya nakal-nakal. Karena omongan dia itulah akhirnya waktu pergi mencari Nasi Lonte saya nggak berani bawa kamera. Sampai hp dan dompet yang berisi kartu kredit dll pun saya simpan di kamar hotel. Saya hanya mengantongi Rp. 100.000 di kantong.

Karena ingin memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya, begitu tiba di hotel dan habis mandi, langsung saya turun ke lobby untuk menanyakan lokasi tempat penjualan Nasi Lonte ini. Di bagian Reception pas waktu itu ada 3 orang. Satu cewek, 1 cowok dan 1 tante. Dengan sendirinya saya menghampiri yang cewek dan tanya, “Non, di mana sih kalo mau cari Nasi Lonte?” Rupanya omongan saya terlalu cepat. Yang dia dengar bukan nasi lonte tapi lonte tok. Dengan terkesima dia menjawab, “Lonte? Maaf awak tidak tau.” Karena setelah dijelaskan bahwa yang dimaksud adalah Nasi Lonte dia juga tetap tidak tau, saya menghampiri yang tante. Karena saya pikir pengalaman dan pengetahuan tante kan lebih banyak. Rupanya si tante tidak tau juga, demikian pula dengan yang cowok.

Untung saya sudah ada persiapan dari Menado. Saya keluarkan peta Kota Medan dan menunjuk lokasi Jl. Makmur, tempat penjualan Nasi Lonte itu. Setelah mereka bertiga bertukar pikiran sambil lihat peta, si tante akhirnya bilang sebaiknya dia bilang ama si abang taksi kira-kira di mana Jl. Makmur itu. Spontan saya setuju dan berterima kasih atas kebaikannya.

Rupanya si abang taksi nggak paham juga setelah dijelasin. Setelah puter-puter nggak ketemu, dia nelpon dengan hpnya, tanya ke temennya. Akhirnya dari satu jalan besar dia belok ke satu jalan yang lumayan besar juga dan berhenti di depan pertokoan yang di depannya ada stall jual nasi. Karena takut si abang taksi sembarangan stop dan ngibulin, saya tanya ke tukang parkir di situ dan ternyata benar.

Nasi Lemak dengan Rendang Sapi dan Telor Dadar Rp. 12.000,-

Saya menghampiri ibu yang jual nasi dan tanya sekali lagi apakah benar tempatnya Nasi Lonte. Dia mengangguk-angguk ketawa dan tanya mau makan di tempat atau bungkus. Begitu saya bilang mau bungkus, dia menunjuk ke toko sebelah dan bilang kalau bungkus ibu yang satunya lagi yang nangani. Akhirnya ibu yang satunya lagi itulah yang saya interview sambil membeli 2 bungkus nasi.

Alkisah, dulu mereka jualannya bukan di Jl. Makmur yang sekarang, tapi di Jl. Sei Kambing yang letaknya juga tidak jauh dari tempat sekarang. Waktu itu memang jualannya mulai jam 11.00 malam dan yang beli memang di antaranya ada lonte-lonte (PSK). Tapi dia tidak pernah kasih nama nasinya sebagai Nasi Lonte. Itu adalah nama yang diberikan oleh orang-orang sekitar. Setelah bertahun-tahun dan lumayan maju baru mereka mampu pindah ketempat yang sekarang dan jam jualannyapun dimajuin jadi mulai jam 5 sore.

Ada dua macam nasi yang dijual, yaitu nasi sayur dan nasi lemak. Kedua-duanya lauk-pauk sama. Bedanya cuma yang nasi sayur itu nasinya nasi biasa dan yang nasi lemak itu nasinya nasi uduk. Lauk pauk standardnya adalah labu siam, kacang, ikan teri, ikan gepeng (yang ukurannya 2 kali ikan teri), tauge, sedikit bakmi, sambal dan 2 iris ketimun. Setelah itu kita boleh tambah lauk ekstra seperti ayam goreng dll.

Mau tau harganya? Yang saya beli kan 2 bungkus. Satu bungkus yang nasi sayur saya tambahkan ayam goreng. Harganya cuma Rp. 10.000. Satu bungkus lagi yang nasi lemak saya tambahkan rendang sapi dan telor dadar. Yang ini Rp. 12.000. Wah murah banget. Pantes yang makan disitu banyak dan tidak ada meja yang kosong. Setelah sampai di hotel saya makan kedua bungkus nasi itu sampai hampir habis. Uenak! Dan rasanya unik karena berupa campuran Nasi Jawa dan Nasi Padang. Strongly recommend bila ada SGers yang ke Medan harus cobain hawker food unik dari Medan ini yang namanya juga unik.

Well, hunting Nasi Lonte berhasil. Tapi ada buntutnya yang nggak enak. Taksinya nggak mau pake meter. Waktu sampai di hotel dia minta Rp. 60.000. Nawar-nawar akhirnya jadi Rp. 40.000. Pikir-pikir itu kan sama dengan 4 bungkus nasi sayur dengan ayam goreng. Wah, begitu hari pertama langsung kena getok. Sial amat! (artikel disadur dengan permisi dari sendokgarpu.com tanpa mengubah seluruh materi)

Source: Nasi Lonte, Murah Enak | Berita Cerita Kota Medan http://www.medantalk.com/nasi-lonte-...#ixzz0cPfsIfOx Copyright: www.MedanTalk.com

- Luffy -