Dongzhi Festival alias Winter Solstice Festival adalah salah satu perayaan terpenting dalam sepanjang tahun Lunar Calendar, alias penanggalan bulan yang biasa disebut dengan Chinese Calendar. Kemiripan perayaan ini adalah perayaan Thanksgiving Day, timing’nya lebih di akhir musim gugur awal musim dingin, sementara Dongzhi Festival tidak jauh dari itu, yaitu adalah hari terpendek sepanjang tahun, yang biasanya jatuh di 22 Desember. Dongzhi Festival adalah perayaan terakhir dari seluruh rangkaian perayaan di penanggalan Chinese. Tepat di hari ini, matahari berada di Tropic of Capricorn sehingga hari itu adalah malam terpanjang dalam setahun.
Di China kuno, perayaan ini dirayakan dengan berkumpulnya seluruh keluarga besar, dan mereka akan membuat satu makanan yang disebut dengan tang yuan (汤圆, pinyin: tang yuan, baca dang yuen), yang artinya kurang lebih adalah kuah ronde. Dalam bentuk aslinya di China, pembuatan ronde ini adalah dengan tepung ketan yang kemudian dibulat-bulat, dan diberi warna. Tentu saja warna-warna cerah mendominasi bulatan ketan itu. Putih, merah, hijau cerah, kuning banyak mendominasi bulatan-bulatan ronde. Ronde ini disajikan dalam kuah manis dan kadang kaldu daging. Seiring berjalannya waktu, modifikasi ronde juga berkembang, dengan diisi kacang tanah cincang, wijen, tau sa alias kacang hitam, dsb. Asimilasi budaya kembali berperan, karena adanya ronde rasa coklat asli yang warna coklat gelap mengundang selera, karena dicampur dengan bubuk coklat van Houten asli.
Ronde dibuat dengan tepung ketan dan air saja, tidak menggunakan gula sama sekali dan tanpa ragi/baking soda sekalipun. Makna dari ronde yang terbuat dari tepung ketan yang lengket adalah untuk merekatkan kekerabatan serta mempererat hubungan antar keluarga. Dari kata tang yang mirip bunyinya dengan tuan (团, pinyin: tuan, baca duan) yang artinya berkumpul atau lebih tepatnya dalam bahasa Jawa RAGEM, sementara yuan artinya bulat. Secara keseluruhan tang yuan menyiratkan tuan yuan (团圆, baca family reunion, alias kerageman keluarga).
Ronde yang dibuat adalah ronde yang plain alias tanpa apapun juga, rasanya tawar dan tanpa bahan isian apapun juga. Sekali lagi silang budaya di sini menunjukkan perannya. Di tempat asal di China ronde yang dihidangkan dengan kuah manis atau kaldu daging, di Indonesia kebanyakan keluarga membuat kuah ronde dengan jahe dan gula, sehingga lebih tepat disebut dengan wedang ronde, gabungan kompak dan harmonis antara rasa manis gula, pedas dan hangat dari jahe, serta kekenyalan ronde dan isinya yang mak nyus. Wedang ronde Indonesia tidak akan dijumpai di belahan bumi manapun juga, karena asimilasi budaya Chinese dengan budaya Nusantara tepatnya budaya Jawa yang kental.
Membahas sembahyangan ronde ini menjadikan ingatan melayang ke sekitar 25 tahun lalu. Masih banyak tukang ronde pikulan keliling di jalan-jalan. Pikulan kecil dengan stoples-stoples kaca berisi kuah kental jahe dan gula beserta ronde-ronde yang ukurannya lebih besar dari ronde bikinan rumahan. Ronde-ronde itu ada yang bersaput wijen, ada yang isinya kacang tanah cincang, ada yang isinya gula jawa, atau tau sa (kacang hitam). Variasi cara menghidangkannya juga banyak modifkasi.
Tukang ronde pikulan dengan tabuhannya yang khas, seperti gembreng kecil yang digantung di pikulan serta pemukul kecil dari bambu atau kayu dengan suaranya: “teng, teng, teng, teng”, tanpa suara penjualnya, tapi suara tsb sanggup memanggil penikmatnya keluar dari rumah mencari si bapak tukang ronde,
http://baltyra.com/2009/12/22/sembahyang-ronde/
pinodita – 2008
http://www.geocities.com/Paris/Parc/1486/festival/cny.html
http://www.siutao.com/id/ibd/ibd_yuanxiao.shtml
http://www.discoverhongkong.com/eng/heritage/festivals/he_fest_wint.jhtml
http://spkmandarin.cbn.com.sg/spkmandarin/festival/dongzhi.htm
http://www.eguidelifestyle.com.my/attractions/festivals/festival_dongzhi.asp
http://www.huayinet.org/culture/culture_festivals_dongzhi.htm
-Lily-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar