Jumat, 26 Februari 2010
Asal Usul Lontong Cap Go Meh
Masing-masing |
Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)
SEJARAH MAKANAN TJAH KWEI
Tjah Kwei adalah makanan asal Tiongkok yang dibuat dari tepung trigu, ragi, soda, ammonium bicarbonat dan garam. Adonan kalau sudah “mekar” dibuat seperti tongkat yang panjangnya kira kira 15-20 cm., lalu dua tongkat dilekatkan menjadi satu. Kalau digoreng panjangnya menjadi kira kira 25 cm dan berwarna coklat. Tjah kwei terkenal di Asia tenggara dan merupakan makanan kecil terutama bagi orang-orang Tionghoa. Di Solo, Jawa Tengah, Tjah Kwei dibuat oleh orang “pribumi” dan setiap malam pembeli selalu berderet-deret untuk antri. Untuk makanan pagi di daratan Tiongkok dan Taiwan Tjah-kwei dimakan bersama-sama dengan susu kedele adalah sarapan pagi yang nikmat. Tjah Kwei di Solo dimakan baik oleh suku Tionghoa maupun oleh orang jawa Solo.
Disini aku ceritakan asal usul Tjah Kwei. Di jaman Dinasti Song, suku Jin dari Utara sangat kuat, mereka beberapa kali menyerbu negeri Song. Kemudian Kerajaan Song dikalahkan dan kaisar Wei dan Xin ditangkap. Kemudian raja Gang (baca: Kang) mendirikan dinasti Song Selatan. Di masa kaisar Gao dari Song Selatan, sekali lagi diserbu secara besar-besaran oleh suku Jin dan menduduki sebagian besar daerah utara dari sungai Chang Jiang (Yang Tse). Untungnya ada seorang jendral yang bernama Yue Fei ( bahasa Hokkian Gak Hoei) memimpin tentara Song untuk melawannya dengan gigih, disamping itu Beliau melindungi ibu kota Song Selatan. Beliau dengan patriotiknya membela negaranya dan telah mengambil kembali banyak daerah Song yang telah diduduki oleh tentara kuda Jin yang terkenal. Sayang sebelum Beliau dapat mengambil kembali ibu kota Song yang dahulu, hanya masih kira-kira 22 kilomter jaraknya. Waktu Yue Fei akan melewati Sungai Kuning bagian utara, Jendral Yue Fei dipanggil pulang secara mendadak oleh raja Gao. Raja Gao mendengar kata-kata pengkhianat yang bernama Chin Kuai yang membisiki raja dengan perkataan bahwa Yue Fei kalau menang Beliau akan mengundang kembali kaisar Wei dan Xin yang masih ditangkap oleh suku Jin untuk naik tahtanya kembali. Maka kalau raja tidak mengambil tindakan sekarang, kedudukan raja Gao akan susah dipertahankan. Chin Kuai juga mengatakan bahwa Jendral Yue Fei akan memberontak dan menganjurkan agar Yue Fei ditangkap segera kalau datang, lalu dibunuh.
Kematian Yue Fei membuat marah semua rakyat dan menganggap Chin Kuai sebagai pengkhianat negara. Kemudian. Raja Xiao dari Song Selatan merehabilitasi nama Yue Fei dan di kota Hang Zhou dibangun di daerah Xi-Hu (telaga Hu yang cantik) gedung kuburan Jendral yang patriot ini yang sampai sekarang di hormati. Ironisnya pada masa RBKP dirusak oleh Garda Merah yang oleh Mao Ze-Dong dinamakan jendral jendral kecil. Didepan patung Yue Fei dibuat dua patung suami istri Chin Kuai yang berlutut pada Yue Fei. Dan dihina oleh rakyat Tiongkok. Patung Yue Fei sekarang sudah dibetulkan lagi dan menjadi lebih bagus. Turist yang berkunjung ke Hangzhou dapat menikmati tugu pahlawan Yue Fei ini.
Ada orang yang membenci Chin Kuai membuat model manusia dari tepung terigu yang mencerminkan Chin Kuai dan istrinya, disatukan jadi satu, lalu di goreng dan dimakan. Dahulu makanan ini dinamakan Yu –Zha (goreng dengan minyak) Chin Kuai, lalu diringkas menjadi Yu Zha Kuai (Hokkian Yu Tjah Kwee), Tjah kwee atau Yutiao (Mandarin).
Dr. Han Hwie Song
Breda, 5 april 2004
Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)
SEJARAH SOTO & PENYEBARANNYA
Makanan khas yang konon asalnya dari Cina ini telah menjadi bagian dari makanan masyarakat Indonesia. Dengan menyesuaikan olahan bumbu agar pas dengan lidah orang Indonesia, lahirlah kemudian Soto Semarang, Soto Kudus, Soto Madura, Soto Bangkong, Tauto Pekalongan, Sauto Tegal dan sebagainya.
Menurut Dennys Lombard, dalam bukunya Nusa Jawa: Silang Budaya, asal mula Soto adalah makanan Cina bernama Caudo, pertama kali populer di wilayah Semarang. Dari Caudo lambat laun menjadi Soto, orang Makassar menyebutnya Coto, dan orang Pekalongan menyebutnya Tauto bahkan beberapa tempat ada yang menyebutnya Sauto.
Antropolog dari Universitas Gadjah Mada, Dr Lono Simatupang, mengemukakan bahwa, soto merupakan campuran dari berbagai macam tradisi. Di dalamnya ada pengaruh lokal dan budaya lain. Mi atau soun pada soto, misalnya, berasal dari tradisi China. China-lah yang memiliki teknologi membuat mi dan soun, ujarnya.
Soto juga kemungkinan mendapat pengaruh dari budaya India. Ada beberapa soto yang menggunakan kunyit. Ini seperti kari dari India, ujarnya. Karena soto merupakan campuran dari berbagai tradisi, ungkap Lono, asal usulnya menjadi sulit ditelusuri. Soto itu seperti dangdut yang mendapat pengaruh dari berbagai tradisi. Ya, sudah kita terima saja.
Penyebaran soto ke berbagai daerah di Indonesia seiring dengan penyebaran manusia. Makanan yang tersebar itu kemudian bisa diterima di tempat lain. Selain itu, makanan juga menyebar karena ada proses industri. Penyebaran ini, lanjut Lono, diikuti dengan upaya lokalitas. Proses lokalitas soto mungkin sama seperti lokalitas Islam maupun Kristen di Indonesia. Inilah yang mengakibatkan muncul berbagai jenis soto di Indonesia.
Konon, di seluruh wilayah kota Kudus, dan beberapa daerah sekitarnya bahkan di Pekalongan, ada larangan untuk memotong sapi. Budaya ini adalah warisan budaya Hindu Jawa yang menganggap sapi sebagai hewan suci, sehingga tidak boleh dimakan. Walaupun budaya Hindu sudah hilang pengaruhnya sejak kisaran 800 tahun yang lalu, kebiasaan tidak memakan sapi masih diwariskan hingga sekarang. Warisan Hindu yang ada di wilayah Indonesia disimbolkan dengan pilihan daging ayam dan kerbau. Mereka sendiri tidak suka menyantap sapi, namun lebih suka menyantap daging kerbau. Alhasil, segalanya serba kerbau: sate kerbau, pindang tetel daging kerbau, dan tentu saja soto/tauto daging kerbau.
Orang cina memiliki aturan dalam makan, seperti, larangan makan daging kerbau, larangan menyisakan makan terutama nasi. Aturan itu merupakn aturan lama yang sudah ditinggalkan oleh orang Cina saat ini.
Bumbu-bumbu yang digunakan pun bercita rasa Jawa, seperti penggunaan kemiri dan peresan jeruk limau sebagai kondimen. Penghidangannya bisa dipilih, apakah langsung dicampur dengan nasinya atau dipisah. Penyajian yang asli adalah dimana nasinya langsung dicampur dengan soto, sesuai dengan selera Jawa yang selalu menyajikan nasi sebagai makanan pokok.
Serbuk koya yang juga ditemukan di lontong cap go meh adalah budaya kuliner Tionghoa peranakan. Serbuk ini dibuat dari santan kelapa yang dikeringkan, berfungsi sebagai penyedap rasa dan penambah tekstur. Berbeda dengan soto ayam Lombok di Malang, koyanya disini sudah ditakar dan tidak biasa ditakar sendiri.
Irisan bawang putih yang digoreng kering, juga merupakan jejak budaya Tionghoa. Cara memasak seperti ini jelas merupakan selera Tionghoa, seperti ditemukan di masakan Tionghoa Pontianak. Masakan Jawa biasanya menggunakan bawang merah, bukan bawang putih, untuk digoreng kering dan digunakan sebagai kondimen.
Cara menjajakan dengan pikulan adalah salah satu akulturasi yang terjadi. Pikulan ini sering dipakai oleh orang cina dahulu, namun untuk sejarahnya sendiri kurang diketahui oleh penulis. Saat orang cina bertransmigrasi ke sini orang Cina banyak yang berjualan dengan cara eceran. Orang-orang Cina-lah yang mendistribusikan banyak barang. Jadi, posisi orang Cina kebanyakan sebagai distributor antara orang Belanda sebagai produsen dan orang pribumi sebagai konsumen.
Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)
SEJARAH Nasi Goreng
Yang nggak suka nasi goreng tunjuk tangan? Hehe.. Siapa sih yang nggak suka nasi goreng, tapi kamu sendiri tau nggak asal-usul nasi goreng? Nasi goreng atau nama aslinya Hanzi yang sering kamu makan ini berasal dari Tionghoa, dan udah mulai ada sejak 4000 SM. Nasi goreng memang masakan tradisional masyarakat sana. Awal mula terciptanya masakan ini karena dalam kebudayaan Tionghoa, masyarakatnya nggak suka mencicipi makanan dingin, dan suka membuang sisa makanan beberapa hari sebelumnya. Kemudian karena sayang selalu dibuang, nasi yang dingin itu digoreng kembali dan dihidangkan dengan lezat dimeja makan, yummy! Mulai deh nasi goreng dikombinasikan dengan bumbu yang berbeda, dimasak dengan cara yang berbeda-beda juga, hingga akhirnya terus menyebar ke Asia Tenggara, dan jadi hidangan khas Indonesia.
Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)
SEJARAH BACANG
Hari Raya Duan Wu Jie {Hok Kian = Twan Ngo Ciap} atau yang lebih terkenal dengan sebutan Hari Raya Peh Cun diperingati setiap tahun pada Go Gwe Cwe Go (tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek). Pada hari tersebut biasanya orang Tionghoa mempersembahkan bacang dan kue cang untuk sembahyang. Dari manakah asal mula bacang tersebut?
端午節 Duan Wu Jie adalah salah satu dari 3 Hari Raya Besar yang diperingati oleh orang-orang Tionghoa. [ 2 hari raya lainnya adalah 春節 Chun Jie (Hari Raya menyambut Musim Semi – Tahun Baru Imlek) & 中秋節 Zhong Qiu Jie (Hari Raya Tiong Ciu – Pertengahan Musim Gugur). ]
Walaupun asal mula Duan Wu Jie menurut legenda ada 3 macam [ 2 yang lainnya adalah untuk memperingati Putri Berbakti 曹娥 Chao E pada masa Dinasti Han Timur (25 – 220 M) yang mati terjun ke sungai karena berkabung atas meninggal ayahnya, & untuk memperingati hari wafatnya 伍子胥 Wu Zi Xu dari negara Chu yang hidup pada masa 春秋 Chun Qiu (770 – 476 SM) ], namun asal mula Hari Raya Duan Wu Jie yang sangat terkenal & diperingati di Tiongkok, Taiwan, dan lain-lain adalah berdasarkan wafatnya 屈原 Qu Yuan yang meninggal terjun ke sungai 汨羅江 Mi Luo. Qu Yuan dengan kesetiaannya berkorban untuk rakyat dan negara. Di Taiwan, Qu Yuan juga dihormati sebagai 水仙尊王 Shui Xian Zhun Wang (Dewa Air Yang Terhormat).
Dinasti Zhou pada zaman peperangan di Tiongkok + 2.400 tahun yang lalu (475-221 SM) terbagi 7 (tujuh) Negara. Negeri Qin adalah yang paling kuat dan agresif, sering melakukan serangan (agresi militer) terhadap enam negeri lainnya. Qu Yuan (baca : Chi Yen) adalah seorang menteri besar dan setia dari negeri Chu (salah satu dari keenam negeri yang diserang negeri Qin). Beliau adalah seorang tokoh yang berhasil menyatukan keenam negeri untuk menghadapi agresi negeri Qin, sehingga namanya amat disegani di negeri Qin.
Qu Yuan pernah menghalangi Raja 楚懷王 Chu Huai Wang untuk memenuhi undangan raja negeri Qin ke ibukotanya. Namun sayang sekali pada waktu itu Raja Chu Huai Wang telah termakan siasat adu domba dari Negeri Qin, hubungannya menjadi renggang dengan Qu Yuan dan tidak mau mempercayai sarannya lagi.
Untuk mengatasi hati yang sumpek, Qu Yuan menulis sajak 離騷 Li Sao, mengharap Raja Chu Huai Wang mawas diri & tidak termakan siasat adu domba tersebut.
Akhirnya Raja Chu Huai Wang tertipu oleh janji-janji Raja Qin untuk datang ke ibukotanya, lalu dipenjarakan di sana, sampai akhirnya mangkat di Negeri Qin.
Setelah Raja 楚襄王 Chu Xiang Wang naik tahta menggantikan Raja Chu Huai Wang, tidak hanya tidak terpikir untuk balas dendam, bahkan sebaliknya menjadikan Raja Qin sebagai ayahnya ! Ditambah lagi ada sebagian menteri yang mendapat keuntungan dari Negeri Qin, di luar dugaan malah menyarankan Raja Chu Xiang Wang agar menyerah kepada Negeri Qin.
Qu Yuan berusaha menentang masalah ini, berdebat dengan Raja Chu Xiang Wang sehingga menyebabkannya marah besar, lalu memecat Qu Yuan yang telah mengabdi bertahun-tahun di negeri Chu, dan mengirimnya ke tempat pembuangan di 長沙 Chang Sha.
Qu Yuan melewati kehidupan sebagai orang pelarian selama 9 tahun, telah melewati hari-hari yang tragis di mana negeri hancur keluarga berantakan. Qu Yuan yang sebenarnya bertekad untuk melindungi negara, menjadi putus asa, & akhirnya pada tanggal 5 bulan 5 Imlek bunuh diri terjun ke sungai Mi Luo (sekarang Sungai 錢塘Qian Tang di Propinsi 浙江 Zhe Jiang). Beberapa orang yang mengetahui berusaha menolong, tetapi tidak berhasil. Jenazahnya pun tidak ditemukan. Qu Yuan wafat pada usia 62 tahun.
Rakyat Negeri Chu sangat bersedih setelah mengetahui bahwa Qu Yuan, menteri mereka yang sangat cinta Negeri telah meninggal, lalu mereka berduyun-duyun mendayung perahu ke Sungai Mi Luo untuk mencari & mengeluarkan jenazah Qu Yuan dari dalam sungai. Namun mereka tidak berhasil menemukan jasadnya. Lalu mereka pergi ke tepi sungai menyatakan duka cita yang sedalam-dalamnya atas meninggalnya Qu Yuan. Mereka melemparkan makanan ke sungai untuk dimakan ikan, udang & hewan laut lainnya, sehingga hewan2 tersebut tidak memakan tubuh Qu Yuan.
Tak lama kemudian, rakyat seluruh negeri menyelenggarakan upacara untuk memperingati Qu Yuan, menganggap bahwa semangat cinta Negeri dari Qu Yuan sungguh-sungguh sangat mulia.
Setelah Qu Yuan terjun ke Sungai Mi Luo, ada seorang dari Negara Chu yang bertemu dengan arwah Qu Yuan. Qu Yuan memberitahu orang ini, orang-orang yang menghormati Qu Yuan dengan melempar makanan ke sungai semuanya habis diperebutkan ikan-ikan & udang. Maka Qu Yuan berpesan kepada orang tersebut untuk menyampaikan kepada orang banyak agar makanan yang dipersembahkan dibungkus dengan daun bambu, & dipersembahkan pada tanggal 5 bulan 5 Imlek. Inilah asal mula makan bacang pada Hari Raya Duan Wu Jie.
Qu Yuan yang seumur hidupnya amat setia kepada negara, telah menulis sangat banyak karya sastra. Beliau meninggalkan nama harum sepanjang masa. Untuk menyatakan rasa hormat dan cinta Qu Yuan kepada Negeri, maka tanggal 5 bulan 5 (Imlek) ini juga merupakan Hari Raya Penyair di Tiongkok.
Orang-orang pada generasi berikutnya, untuk menghormati & memperingati wafatnya Qu Yuan, melakukan adat istiadat 扒龍船 Ba Long Chuan, membentuk Perahu Naga, & mengadakan 龍舟競賽 Long Zhou Jing Sai, Lomba Dayung Perahu Naga.
Diadakannya Perlombaan Perahu Naga di Hari Raya Duan Wu Jie, adalah mengingatkan usaha mencari jenazah Qu Yuan yang terjun ke sungai.
Zaman sekarang, begitu tiba Hari Raya Duan Wu Jie, di berbagai tempat diselenggarakan Lomba Dayung Perahu Naga, pertama untuk memperingati Qu Yuan, mengembangkan semangat cinta Negeri; kedua untuk menggalakkan olahraga, baru bisa dengan badan yang sehat untuk melindungi Negeri. Selain itu, sekeluarga berkumpul bersama sambil makan bacang, juga dapat menikmati bersama kebahagiaan keluarga.
Kelenteng yang khusus untuk menghormati Qu Yuan jarang ada. Di Taiwan, kelenteng khusus untuk menghormati Qu Yuan adalah 屈原宮 Qu Yuan Gong di 洲美 Zhou Mei, 士林 Shi Lin, 臺北 Taipei, yang didirikan pada 6 Nopember 1981 (Imlek bulan 10 tanggal 10).
O
—oooOOOooo—
O
Report: Eny Prasetyawati (21-02-10)